MAKALAH
LIT (LEADERSHIP INTERMEDIATE TRAINING)
Rabu, 27 Juni 2013
Tema: “Pembagian hukum Islam ke dalam Syariat, Fiqih dan
Muammalah”
Judul
LATAR BELAKANG
Syariat Islam ialah tata cara pangaluran tentang prilaku hidup untuk mencapai
keridhaan Allah SWT. Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat
Asy-Syara ayat 13 yang artinya “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kamu
wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim Musa dan
Isa”.
Kebutuhan manusia akan syariat melebihi
kebutuhan mereka terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya. Bahkan, kebutuhan
akan syariat ini tidak bisa dibandingkan dengan kebutuhan lain, misalnya ilmu
kedokteran. Tidakkah kita perhatikan bahwa di banyak belahan dunia, benyak
manusia hidup tanpa dokter karena biasanya dokter hanya ada di kota-kota besar.
Sementara, penduduk pedesaan atau daerah terpencil dan sebagian mereka tidak
memerlukan jasa dokter. Meskipun demikian, fisik mereka lebih sehat dan kuat
daripada mereka yang bergantung kepada dokter, bahkan sepertinya umur mereka
juga relative sama.
TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan kita tentang
Hukum Islam, syariat Islam, Fiqh dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
yang mampu menjadi panduan dalam kehidupan kita.
RUMUSAN MASALAH
A.
Menjelaskan pengertian Hukum Islam Syariat dan Fiqh
B.
Mencari keterkaitan atau hubungan antara hukum Islam, Syariah dan Fiqh
C.
Kebutuhan manusia pada Syariat
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Islam, Syariat dan Fiqh\
1. Pengertian
Hukum Islam
Menurut Hasby Ash Shiddieqie menyatakan
bahwa hukum Islam yang sebenarnya tidak lain dari pada fiqh Islam atau syariat Islam,
yaitu koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Hukum Islam menekankan pada final goal,
yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Fungsi ini bisa meliputi beberapa
hal yaitu :
a.
Fungsi social engineering. Hukum islam
dihasilkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemajuan umat. Untuk
merealisasikan ini dan dalam kapasitasnya yang lebih besar, bisa melalui proses
siyasah syariyyah, dengan produk qanun atau perundang-undangan.
b.
Perubahan untuk tujuan lebih baik.
2.
Pengertian Syariat
Secara etimologis
(lughawi) kata ‘syariah’ berasal dari kata berbahasa Arab al-syari’ah yang
berarti ‘jalan ke sumber air’ atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke
arah sumber pokok bagi kehidupan (alFairuzabadiy, 1995: 659). Orang-orang Arab
menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang
tetap dan diberi tanda yang jelas terlihat mata (Ahmad Hasan, 1984: 7). Syariah
diartikan jalan air karena siapa saja yang mengikuti syariah akan mengalir dan
bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan
dan binatang sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa
manusia (Amir Syarifuddin, 1997, I:1). Ada juga yang mengartikan syariah dengan
apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya (Manna’ alQaththan, 2001: 13).
Al-Quran menggunakan dua istilah:
syir’ah (Q.S. al-Maidah [5]: 48) dan syari’ah (Q.S. al-Jatsiyah [45]: 18) untuk
menyebut agama (din) dalam arti jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia
atau jalan yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia. Istilah syarai’
(jamak dari syari’ah) digunakan pada masa Nabi Muhammad saw. untuk menyebut
masalahmasalah pokok agama Islam seperti shalat, zakat, puasa di bulan
Ramadlan, dan haji (Ahmad Hasan, 1984: 7). Syariah disamakan dengan jalan air
mengingat bahwa barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan
bersih jiwanya (Manna’ al-Qaththan, 2001: 13).
Adapun istilah al-syari’ah
al-Islamiyyah didefinisikan sebagai apa yang disyariatkan oleh Allah kepada
hamba-Nya baik berupa akidah, ibadah, akhlak, muamalah, maupun aturan-aturan
hidup manusia dalam berbagai aspek kehidupannya untuk mengatur hubungan umat
manusia dengan Tuhan mereka dan mengatur hubungan mereka dengan sesama mereka
serta untuk mewujudkan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa
istilah syariah pada mulanya identik dengan istilah din atau agama. Dalam hal
ini syariat berarti perintah agama yang disyariaatkan oleh Allah kepada segenap
hamba-Nya. Namun selanjutnya para ulama lebih menspesifikannya kepada hukum dan
aturan yang bersifat amal perbuatan dan praktik, yaitu segala sesuatu yang
diluar hukum dan aturan akidah. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
menjelaskan bahwa Syariat adalah hukum agama yg menetapkan peraturan hidup
manusia, hubungan manusia dng Allah Swt., hubungan manusia dng manusia dan alam
sekitar berdasarkan Alquran dan hadis.
Objek
kajian syariah kemudian dikhususkan pada masalah-masalah hukum yang bersifat
amaliyah, sedangkan masalah-masalah yang terkait dengan pokok-pokok agama
menjadi objek kajian khusus bagi aqidah (ilmu ushuluddin). Pengkhususan
ini dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara
universal, sedangkan syariah berlaku untuk masing-masing umat dan berbeda
dengan umat-umat sebelumnya.
Syariah
bermakna umum (identik dengan agama) yang mencakup hukum-hukum aqidah dan
amaliyah, tetapi kemudian syariah hanya dikhususkan dalam bidang hukum-hukum
amaliyah. Bidang kajian syariah hanya terfokus pada hukum-hukum amaliyah
manusia dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, sesama manusia, dan alam
semesta. Adapun sumber syariah adalah al-Quran yang merupakan wahyu Allah dan
dilengkapi dengan Sunnah Nabi Muhammad saw.
3.
Pengertian Fiqh
Secara
etimologis kata ‘fikih’ berasal dari kata berbahasa Arab: alfiqh yang
berarti pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu (al- Fairuzabadiy, 1995:
1126). Dalam hal ini kata ‘fiqh’ identik dengan kata fahmatau ‘ilm
yang mempunyai makna sama (al-Zuhaili, 1985, I: 15). Kata fikih pada
mulanya digunakan orang-orang Arab untuk seseorang yang ahli dalam mengawinkan
onta, yang mampu membedakan onta betina yang sedang birahi dan onta betina yang
sedang bunting. Dari ungkapan ini fikih kemudian diartikan ‘pengetahuan dan
pemahaman yang mendalam tentang sesuatu hal’.
Dalam
buku al-Ta’rifat, sebuah buku semisal kamus karya al-Jarjani,
dijelaskan, kata ‘fiqh’ menurut bahasa adalah ungkapan dari pemahaman
maksud pembicara dari perkataannya (al-Jarjani, 1988: 168). Kata fiqh semula
digunakan untuk menyebut setiap ilmu tentang sesuatu, namun kemudian
dikhususkan untuk ilmu tentang syariah.
Al-Quran
menggunakan kata ‘fiqh’ atau yang berakar kepada kata ‘faqiha’ dalam
20 ayat. Kata ‘fiqh’ dalam pengertian ‘memahami secara umum’ lebih dari
satu tempat dalam al-Quran. Ungkapan ‘liyatafaqqahu fiddin’ (Q.S.
al-Taubah [9]: 122) yang artinya ‘agar mereka melakukan pemahaman dalam agama’
menunjukkan bahwa di masa Rasulullah istilah fikih tidak hanya digunakan dalam
pengertian hukum saja, tetapi juga memiliki arti yang lebih luas mencakup semua
aspek dalam Islam, yaitu
teologis,
politis, ekonomis, dan hukum (Ahmad Hasan, 1984: 1). Perlu dicatat bahwa di
masa-masa awal Islam, istilah ‘ilm’ dan ‘fiqh’ seringkali
digunakan bagi pemahaman secara umum. Diceritakan bahwa Rasulullah telah
mendoakan Ibnu ‘Abbas dengan mengatakan ‘Allahumma faqqihhu fiddin’ yang
artinya ya Allah berikan dia pemahaman dalam agama. Dalam doa tersebut
Rasulullah tidak memaksudkan pemahaman dalam hukum semata, tetapi pemahaman
tentang Islam secara umum (Ahmad Hasan, 1984: 2).
Pada
dasarnya, fiqh mencakup semua hukum dan aturan Islam, baik yang berupa amal
praktek maupun akidah dan kepercayaan. Imam Abu Hanifah bahkan sampai menuliskan
sebuah buku yang mengupas tentang akidah dengan judul “Al-Fiqh Al-Akbar.” Akan
tetapi, para ulama lebih menspesifikannya pada hukum dan aturan Islam yang
bersifat amal praktik, atau selain hukum dan aturan yang bersinggungan dengan
akidah dan kepercayaan.
B.
Hubungan antara Hukum Islam, Syariah
dan Fikih
Istilah hukum Islam tidak ditemukan
dalam al-Quran, Sunnah, maupun literatur Islam. Untuk itu perlu dicari padanan
istilah hukum Islam ini dalam literatur Islam. Jika hukum Islam itu dipahami
sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam, maka sulit dicari padanan yang
dalam literatur Islam persis sama dengan istilah tersebut. Ada dua istilah yang
dapat dipadankan dengan istilah hukum Islam, yaitu syariah dan fikih. Dua
istilah ini, sebagaimana sudah diuraikan di atas, merupakan dua istilah yang
berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan, karena keduanya sangat terkait erat.
Dengan memahami kedua istilah ini dengan berbagai karakteristiknya
masing-masing, dapatlah disimpulkan bahwa hukum Islam itu tidak sama persis
dengan syariah dan sekaligus tidak sama persis dengan fikih. Tetapi juga tidak
berarti bahwa hukum Islam itu berbeda sama sekali dengan syariah dan fikih.
Yang dapat dikatakan adalah pengertian hukum Islam itu mencakup pengertian syariah
dan fikih, karena hukum Islam yang dipahami di Indonesia ini terkadang dalam
bentuk syariah dan terkadang dalam bentuk fikih, sehingga kalau seseorang
mengatakan hukum Islam, harus dicari dulu kepastian maksudnya, apakah yang
berbentuk syariah ataukah yang berbentuk fikih. Hal inilah yang tidak dipahami
oleh sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar kaum Muslim,
sehingga mengakibatkan hukum Islam dipahami dengan kurang tepat bahkan salah.
Hubungan antara syariah dan fikih
sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Syariah merupakan sumber atau landasan
fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap syariah. Pemakaian kedua
istilah ini sering rancu, artinya ketika seseorang menggunakan istilah syariah
terkadang maksudnya adalah fikih, dan sebaliknya ketika seseorang menggunakan
istilah fikih terkadang maksudnya adalah syariah. Hanya saja kemungkinan yang
kedua ini sangat jarang.
Meskipun syariah dan fikih tidak dapat
dipisahkan, tetapi keduanya berbeda. Syariah diartikan dengan ketentuan atau
aturan yang ditetapkan oleh Allah tentang tingkah laku manusia di dunia dalam
mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Ketentuan syariah terbatas
dalam firman Allah dan penjelasannya melalui sabda Rasulullah. Semua tindakan
manusia di dunia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik harus tunduk
kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasulullah itu
sebagian telah terdapat secara tertulis dalam al-Quran dan Sunnah yang disebut
syariah, sedang sebagian besar lainnya tersimpan di balik apa yang tertulis
itu, atau yang tersirat.
Untuk mengetahui keseluruhan apa yang
dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu harus ada pemahaman yang
mendalam tentang syariah hingga secara amaliyah syariah itu dapat diterapkan
dalam kondisi dan situasi bagaimana pun. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam
bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci tentang tingkah laku
orang mukallaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap
syariah itu disebut fikih.
Pemahaman terhadap hukum syara’ atau
formulasi fikih itu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan
kondisi manusia dan dinamika serta perkembangan zaman. Fikih biasanya
dinisbatkan kepada para mujtahid yang memformulasikannya, seperti Fikih Hanafi,
Fikih Maliki, Fikih Syafi’i, Fikih Hanbali, Fikih Ja’fari (Fikih Syi’ah), dan
lain sebagainya, sedangkan syariah selalu dinisbatkan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum-hukum fikih merupakan
refleksi dari perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat sesuai dengan
situasi dan kondisi zamannya. Mazhab fikih tidak lain dari refleksi
perkembangan kehidupan masyarakat dalam dunia Islam, karenanya mengalami
perubahan sesuai dengan zaman dan situasi serta kondisi masyarakat yang ada.
Jadi, secara umum syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan
Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad), sedangkan fikih adalah hukum
Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap syariah atau pemahaman terhadap nash,
baik al-Quran maupun Sunnah. Asaf A.A. Fyzee membedakan kedua istilah tersebut
dengan mengatakan bahwa syariah adalah sebuah lingkaran yang besar yang
wilayahnya meliputi semua perilaku dan perbuatan manusia; sedang fikih adalah
lingkaran kecil yang mengurusi apa yang umumnya dipahami sebagai tindakan umum.
Syariah selalu mengingatkan kita akan wahyu, ‘ilmu (pengetahuan) yang
tidak akan pernah diperoleh seandainya tidak ada al-Quran dan Sunnah; dalam
fikih ditekankan penalaran dan deduksi yang dilandaskan pada ilmu
terus-menerus dikutip dengan persetujuan. Jalan syariah digariskan oleh
Allah dan Rasul-Nya; bangunan fikih ditegakkan oleh usaha manusia. Dalam
fikih satu tindakan dapat digolongkan pada sah atau tidak sah, yajuzu
wa ma la yajuzu, boleh atau tidak boleh. Dalam syariah terdapat
berbagai tingkat pembolehan atau pelarangan. Fikih adalah istilah yang
digunakan bagi hukum sebagai suatu ilmu; sedang syariah bagi hukum sebagai
jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit (Fyzee, 1974: 21).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
mengenai perbedaan antara syariah dan fikih sebagai berikut:
1. Syariah berasal dari Allah dan
Rasul-Nya, sedang fikih berasal dari pemikiran manusia.
2. Syariah terdapat dalam al-Quran
dan kitab-kitab hadis, sedang fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih.
3.Syariah bersifat fundamental dan
mempunyai cakupan yang lebih luas, karena oleh sebagian ahli dimasukkan juga
aqidah dan akhlak, sedang fikih bersifat instrumental dan cakupannya terbatas
pada hukum yang mengatur perbuatan manusia.
4.Syariah mempunyai kebenaran yang
mutlak (absolut) dan berlaku abadi, sedang fikih mempunyai kebenaran yang
relatif dan bersifat dinamis.
5. Syariah hanya satu, sedang fikih
lebih dari satu, seperti terlihat dalam mazhab-mazhab fikih.
6. Syariah menunjukkan kesatuan
dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragaman dalam Islam.
C. Kebutuhan Manusia pada Syariat
Beberapa
kebutuhan manusia akan syariat adalah sebagai berikut:
1.
Syariat Shalat
2.
Syariat Puasa
3.
Syariat Zakat
4.
Syariat Haji
5.
Syariat Jihad
6.
Syariat Kurban dan Diyat
7.
Syariat Makanan, minuman, pakaian, dan
perkawinan
PENUTUP
1.
Kesimpulan
2.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Muhasim, Ahmad. 2010.
Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Genta Press
Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI)
Naik, Zakir dkk.
Mereka Bertanya Islam Menjawab. Aqwam
Marzuki. Tinjauan Umum Hukum Islam
Ibnu Qayyim. 2009. Kunci
Syurga (Membongkar Kebohongan Ramalan). Solo: Tiga Serangkai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar