Oleh :
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School
Pembicara Parenting Internasional di 4
negara
dan Pembicara Nasional Parenting di 20
Propinsi, lebih dari 70 Kota di Indonesia
Sebenarnya, anak-anak
sendiri secara fitrah adalah makhluk spiritual. Secara naluriah mereka memiliki
apa yang banyak orang dewasa 'kehilangan' dan setelah (maaf) mendekati sisa
usia, mereka baru mencarinya kembali. Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya
harga diri dan nilai hidup anak.
Spiritualitas memberi
makna pada kehidupan. Spiritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan
nonfisik yang lebih besar daripada kekuatan diri kita; sesuatu kesadaran yang
menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan dengan
sumber keberadaan kita.
Saat anak memulai
kehidupan dengan rasa takjub bawaan tentang dunia mereka, maka mereka memiliki
bawaan spiritualitas. Kita, sebagai orangtua, dapat memupuk sifat bawaan yang
berharga ini dengan perkataan, tindakan dan perhatian kita pada anak. Dimana
ada ketakjuban, di situ ada spiritualitas. Hal-hal biasa menjadi luar biasa
jika kita menjalaninya sebagai yang bermakna.
Beberapa contoh untuk
mengenalkan ini pada anak antara lain soal aqidah dengan rujukan Al-Qur’an
Annisa : 136 bunyinya seperti ini
"Wahai orang-orang
yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang
Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya
orang itu telah sesat sejauh-jauhnya."
Kita bisa
implementasikan misalnya seperti beberapa contoh berikut ini:
“Papa mau tanya:
telur sama ayam duluan hadir siapa?” Biar anak-anak menjawab, berpendapat.
Biarkan mereka ‘berpetualang’ dengan pikirannya sendiri dan mengungkapkan
pikirannya sendiri. Meski, mungkin kita tidak menyetujuinya.
“Telur keluar dari
ayam kan anakku? Lalu ayam keluar dari mana? Dari telur kan? Nah kalo terus
ditarik ke ujung.... pasti ada yang awalnya. Kita tidak tahu pasti siapa yang
paling awalnya, tapi pasti sebagaimana telur dan ayam pasti hidup kita ada
awalnya.”
“Sebelum kamu lahir,
Kamu ada di rahim mama, mama dan papa lahirnya juga melalui rahim neneknya
kamu. Lalu siapa yang melahirkan nenek? Siapa yang melahirkan nenek dari nenek
dari nenek dari nenek? Panjaaaaaang banget, siapa yang hadir duluan ke dunia? “
“Adam Papa. Tapi Adam
kan laki-laki, bukan ibu-ibu”.
“Betul, adam
laki-laki tapi Rasulullah berkata, Adam lah yang diciptakan duluan:
‘Sesunguhnya manusia itu berasal dari Adam dan Adam itu (diciptakan) dari
tanah.’ (HR Bukhari)”
“Tapi apakah Adam atau
istrinya Hawa pasti ada yang menciptakan kan? Tidak mungkin sesuatu hadir tanpa
ada yang mencipta! Kecuali Maha Pencipta itu sendiri”. (Iman Kepada
Allah: Al-Khalik).
“Setiap akibat pasti
membutuhkan sebab. Ada panas karena ada api. Ada sinar karena ada cahaya,
dll. Demikian juga alamat semesta, gunung, hutan, sungai, lembah adalah akibat,
jejak.”
“Setiap akibat
berasal dari sebab, setiap jejak berasal dari pembuat jejak. Ada
Penyebab yang sangat besar kuasa-Nya yang mengadakan alam semesta.”
Contoh pembicaraan di
atas adalah salah satu saja dari sekian banyak ‘topik’ untuk memancing anak
untuk bertanya dan penasaran tentang Allah. Ini sangat bagus untuk terus
menghadirkan Allah pada kehidupan anak.
Mungkin, pada awalnya
sebagian pertanyaan itu jika tak terbiasa akan menyulitkan Anda. Mungkin anak
akan bertanya tentang “Mengapa Allah menciptakan neraka? Mengapa Allah tidak
punya ibu dan tidak punya bapak? Mengapa Allah tidak kelihatan? Kita berdoa
kepada Allah, bagaimana Allah mendengar kita? Katanya kalau minta sama Allah,
tapi mengapa Allah tidak mengabulkan semua doa manusia? Allah punya telinga
tidak? Allah punya mata tidak? Allah bisa dipanggil ke rumah kita tidak?”
Mungkin ratusan
pertanyaan lainnya yang akan menjadi ‘petualangan’ intelektual ,dan sekaligus,
jika kita bisa menghubungkannya ke dalam pengalaman sehari-hari dan
kejadian-kejadian bermakna setiap hari akan menjadi pengalaman spiritual
tersendiri bagi anak. Ketika anak merasakan gelap, merasakan takut, sedih,
merasakan sendiri, merasakan kedinginan, kepanasan, dalam keadaan hujan, terik,
siang dan malam, Allah sungguh bisa dihadirkan dalam pikiran anak dengan
bermakna.
Ketika anak bertanya
tentang Allah, kunci selanjutnya adalah ajak anak untuk mengenal Tuhan-Nya
dengan nama-nama Allah yang baik seperti yang termaktub dalam asmaul husna.
Kaitkan selalu asmul husna itu dalam kehidupan sehari-hari. Kenalkan asmaul
husna pada anak, bukan untuk dihafal tapi untuk dimaknai satu-satu namanya yang
kemudian dapat diamalkan dalam keseharian. Misalnya, Allah punya nama Maha
Rahman, maka Allah menyukai kita manusia berbuat rahman, dan seterusnya.
Lalu Allah selain
menciptakan manusia juga menciptakan alam semesta dan kehidupan. Untuk mengatur
ini semua Allah mempunya petugas-petugas untuk mengawasinya yakni para malaikat
(Iman kepada malaikat).
Agar manusia hidupnya
teratur, maka semua manusia membutuhkan aturan hidup atau pedoman hidup. “Jika
kamu pergi ke sebuah tempat yang asing, maka kamu sangat membutuhkan peta. Peta
membantu kita untuk dapat menemukan jalan dengan lebih baik. Bisa saja kamu
pergi tanpa peta, tapi bersiaplah kadang-kadang kita tersesat. Kadang kita
ketemu, tapi ketika ada jalan selalu lebih mudah daripada hanya sekadar
coba-coba.”
“Demikian juga hidup
kita. Agar hidup kita bahagia dan terarah, maka Allah menurunkan kitab-kitab
suci yang akan menjadi peta petunjuk kita kepada “harta karun” kehidupan”.
Kitab-kitab itu ada Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur’an”
“Kok nggak satu saja
kitabnya?”
“Setiap jaman dan kaum
dikasi satu kitab, lalu kita yang datang belakangan menjelaskan yang duluan”
“Al-Qur’an terakhir,
berarti Al-Qur’an berarti mengatur semuanya Mama?”
“Al-Qur’an memberi
panduan yang umum dan mendasar anakku”
“Kalau tidak
semuanya, berarti Al-Qur’an tidak lengkap dong Ma!”
“Al-Qur’an memberi
peta umum, nak. Selain peta umum, Al-Qur’an juga mendapat tambahan penjelasan
dari peta lainnya, yakni Hadits yang dikeluarkan melalui jalan utusan Allah:
apa yang kita sebut Rasulullah”(Iman Kepada Rasulullah).
Agar ajaran dalam
kitab ini dapat diterima dan difahami manusia lebih baik, maka Allah
mengirimkan utusan-utusan-Nya atau kita sebut Rasul-Rasul-Nya. Rasul itu
manusia biasa seperti kita.
“Kenapa tidak
malaikat saja yang jadi Rasul”
“Sepertinya agar kita
lebih mudah dan tidak kaget menerima ajaran dari Allah. Rasulullah saja waktu
ketemu malaikat kaget banget lho...apalagi kita manusia biasa. Mungkin Allah
ingin agar lebih mudah mengerti dan tidak kaget. Wallahu’lam. Tapi Allah
mentakdirkan seperti itu pasti untuk kepentingan kita sendiri!”
“Takdir itu apa Ma?”
“Apa saja nikmat yang
kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia.
Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (an-Nisaa`: 79)
“Takdir adalah
ketetapan-ketetapan azali dari Allah sampai hari kiamat. Kalau mau sengsara,
berbuatlah buruk. Kalau mau bahagia, berbuatlah baik. Itu takdir Allah.
Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari
Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan
kemaksiatannya. (Qodlo dan Qodar).”
“Terus kenapa kita
harus berbuat baik dan kenapa tidak boleh berbuat buruk”
“Allah memerintahkan
perbuatan baik, untuk manusia sendiri dan Allah melarang manusia untuk
kepentingan manusia sendiri. Agar hidup kita bahagia. Karena itu Allah ngasih
aturan. Bisa saja manusia membuat aturan, tapi sebaik-baiknya aturan adalah
yang dari menciptakan manusia bukan”
“Ingat, Allah tidak
pernah membutuhkan manusia. Allah memerintahkan itu semua untuk menguji kita
dan untuk kepentingan kita sendiri. Jika mama tidak sholat, Allah sama sekali
tidak rugi! Allah tidak rugi jika ayah tidak berzakat, shodaqoh dll. Allah
tidak rugi jika kita shaum, dll. Allah pun tidak rugi jika manusia berbohong,
memfitnah, berbuat munkar dan keji. “
“Tapi ada tuh manusia
yang berbuat baik tapi kok hidup miskin Pa!”
“Ada juga yang kaya
tapi sengsara kan?”
“Sengsara atau
bahagia bukan di lihat dari rumahnya, kendaraannya anakku! Tapi dari
keyakinannya akan Allah mentaati perintah Allah tadi: melakukan yang
diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Insya Allah jika kita melakukannya
kita akan bahagia”
“Tapi kebahagian
sebenarnya adalah setelah kita mati. Karena apa yang kita dapat hari ini:
mobil, motor, tanah yang luas, belum tentu jadi bekal untuk mati! Karena ada
awal maka akan ada akhir. Jika ada hidup pasti ada mati.”
“Suatu saat alam
semesta ini akan hancur!”
“Ngeri dong!”
“Semua manusia akan
mati!”
“Jadi kita berpisah
Pa Ma?”
“Iya”
“Aku sama siapa?”
Dan
pertanyaan-pertanyaan sejenis ini jika muncul dalam pikiran anak akan sangat
bagus dan kemudian dapat melatih ‘sensitivitas” anak terhadap pemaknaan kehidupan.
Tentu, orangtua harus siap dengan segala pertanyaan yang ‘seru’ ini.
Selamat mengenalkannya pada anak!”
-9-
...karena setiap kita
adalah orang tua
...tidak hanya mereka
yang dipanggil Ayah dan Ibu
...karena setiap
orang harus dewasa
...semoga taqwa dan
cerdas kita ini
...hantarkan si
mungil itu mencintai Rabb- Nya
...hantarkan si
mungil itu dekat pada- Nya
...si mungil dimana
saja
...si mungil siapa
saja
https://www.facebook.com/notes/khairunnisah-hamzah/saat-anak-lebih-filosofis-ketimbang-orang-dewasa/10201418883527020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar